Kupanjatkan rasa syukurku padaMu, Tuhan..
Seperti biasa di akhir minggu, gw balik ke Bekasi dari tempat kost. Ya, sejenak refreshing ja biar gag bosen di kost. Malam Senin gw balik, dan pulang kembali ke kost Senin sorenya. Biasanya gw balik malam minggu, tapi karena ada kegiatan di kampus, alhasil baru bisa pulang malam Senin.
Ketika pulang dari rumah di Bekasi, gw menggunakan jasa angkutan umum/angkot (M-26). Melihat ada bangku kosong di sebelah sopir, gw pun memilih duduk di depan. Angkot tersebut terbilang kosong. Hanya gw di depan dan seorang ibu beserta anaknya yang masih kecil di belakang.
Baru saja masuk dan duduk, gw langsung disuguhi percakapan seru antara sang sopir dan ibu tersebut. Mereka membicarakan politik. Ya, POLITIK! Terdengar oleh gw, ibu tersebut mengeluhkan kepemimpinan SBY. Ia terlihat tak suka dengan SBY. Dia bercerita bagaimana susahnya untuk mendapat makan. Bahkan, ketika anaknya sakit dan meminta sepiring pecel lele, ia hanya sanggup menangis mengingat pada saat itu tak ada uang di kantong. Dari cara bicara dan mimik muka sang ibu, terlihat apa yang ia tuturkan begitu asli dan murni. Terlintas dalam pikiran gw, apakah separah itu? Di balik gedung-gedung tinggi penghias kota, di balik senyum para pejabat, ada seorang ibu yang terlihat begitu menderita.
Gw coba membangun komunikasi dengan mereka. Gw masuk dalam percakapan dengan mereka. Sebuah pertanyaan gw lontarkan, “jika ibu tidak suka pada SBY, lalu siapa yang ibu pilih pada pemilu kemarin?”. Dengan jelas ia menjawab,”Saya GOLPUT!”. “Lalu, menurut Ibu, siapa yang bisa memimpin Indonesia?” gw coba terus mengajukan pertanyaan. “Entahlah..” Jawaban singkat yang menegaskan bahwa KRISIS KEPERCAYAAN dari ibu tersebut terhadap para pemimpin di negeri ini..
Sayang, percakapan dengan Ibu tersebut tak berlangsung lama. Ia harus turun dengan menyerahkan uang sepuluhribuan dan dikembalikan beberapa ribu oleh sang sopir.
Setelah ibu tersebut turun, gw mencoba mengajak bicara dengan sang sopir. Untungnya, ia merespon baik. Gw pun mencoba membangun komunikasi dengan sang sopir yang gw ketahui bernama Pak Noh. Sepanjang perjalanan Ia curhat dengan keadaannya sekarang. Bagaimana hidup yang keras seolah menantang dirinya untuk tetap bertahan hidup.
Ia punya banyak anak. Ya, itulah jawaban yang gw terima ketika gw bertanya berapa anak yang ia punya. Dari banyak anak tersebut, tak ada seorang anak pun yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. “Paling tinggi juga SMK” jawabnya. Hingga sekarang tinggal 2 anak yang masih sekolah. Satu di SMP, satu lagi di SMK. Sisanya? Ada yang udah kerja bahkan ada seorang anak yang sudah hidup cukup di kampung bekerja di sebuah Puskesmas. Namun yang ia sayangkan, anak tersebut seolah lupa dengan dirinya. Waw? tak tahu dirikah anak tersebut? Tak ia lihatkah perjuangan ayahnya?..
Ia sudah menjadi sopir angkot dari tahun 1974. Sama sekali bukan waktu yang pendek! 36 tahun ia bekerja sebagai sopir. Umurnya sekarang? 60 tahun. Dari segi fisik, tak terlihat ia sudah berumur 60 tahun. “Alhamdulilah..” Serunya. Gw sendiri lupa sudah berapa kali ia mengucap kata ALHAMDULILAH sepanjang perjalanan. “Saya dulu perokok berat dari tahun 1977 sampai 1990. Tapi, karena merasa sakit dengan merokok terus menerus, saya putuskan untuk berhenti. Untung saya sudah berhenti,loh! kalau tidak bayangkan saja, 1 bungkus rokok bisa seharga 10.000 hingga 11.000. Coba kita ganti ke beras. Bisa dapat 2 Liter!” Ujarnya membandingkan jika membeli rokok dengan beras.
Harga beras sekarang yang menyentuh 5.000/liter, terasa berat olehnya. “Mau pakai raskin, eh, berasnya perah begitu. Udah gitu, kadang raskin diembat sama orang yang semestinya gak dapat raskin. Sama lah dengan BLT,” Pak Noh memberi penjelasan. “Terus bapak mau harga beras berapa?” tanya gw. “Ya, 2000-3000.liter. Ya, mungkin kasihan petaninya kalau harganya segitu. Makanya pupuk dimurahin, pasti harga beras juga bisa murah,” ucapnya. Wah, tugas Ibu Elka Pangestu nih..
Pak Noh tinggal di sebuah kontrakan rumah sepetak di daerah Kayuringin Jaya, Bekasi. Setiap bulan ia harus menyetor 125.000 kepada sang pemilik rumah tersebut. “Seharusnya sudah harus dibayar tanggal 6 kemarin, tapi sampai sekarang belum ada duit, mau gimana lagi?” ucapnya sambil memegang uang 25.000 yang merupakan hasil bersih yang baru ia dapat hari ini. Padahal hari sudah menjelang sore. “Untuk membawa mobil, kami shift-shiftan. Saya kebagian siang-an lah” katanya.
Setiap hari, ia harus menyetor 85.000. Tidak setiap hari ia sanggup untuk menyetor uang sejumlah itu. Tapi, ia beruntung karena sudah bekerja puluhan tahun. Walaupun setoran tak sampai segitu, ia tak kena damparatan atau hinaan dari sang empunya kendaraan.
Ia menjadi sopir tak hanya untuk mencari makan dan membayar kontrakan rumah. Ia juga harus membayar hutang. “Punya hutang 1,5juta dan harus diciil 25.000 tiap hari,” jelas pak Noh ke gw. Ia biasa mencari pinjaman uang di daerah Kampung Melayu. Mulai meminjam dengan uang 100.000,500.000,1juta hingga sekarang 1,5 juta. Pinjaman uang tersebut, hanya berdasar kepercayaan. Gw lupa menanyakan apakah ada bunga yang ditetapkan dan berapa besarnya. Uang pinjaman tersebut ia gunakan untuk keperluan anaknya sekolah. “Uang buat ujian anak saya saja belum saya bayar” keluh Pak Noh. Ia mengatakan bahwa uang pinjaman 1,5 juta pernah ia baru lunaskan dalam tempo 7 bulan. Setelah itu, baru boleh meminjam uang lagi. Wah, apakah anak-anak Pak Noh tahu akan hal itu? Perjuangan keras memeras keringat yang tiada henti ia kucurkan untuk keberhasilan anak-anaknya. “Alhamdulilah, anak saya sudah ada yang kerja di Puskesmas, walaupun gak inget kita yang di sini” Ujarnya.
Menjelang turun, kuberi pak Noh bayaran atas jasa angkotnya. Pak Noh pun menyampaikan pesan yang luar biasa. “Walaupun cuma bisa makan teri, yang penting mah BERSYUKUR SAJA. Apapun yang didapat bersyukur saja,” Ucapnya sambil kututup pembicaraan kami dengan kata AMIN.